Senin, 27 Desember 2010

Stratifikasi sosial

sub judul : Penduduk, Masyarakat, dan Kebudayaan

Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).

Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).

Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.

Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.


Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.

Ukuran kekayaan

Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, pa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

==== Ukuran kekuasaan dan wewenang ====ÂĎ Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

Ukuran ilmu pengetahuan

Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya


sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial

Lingkungan SEHAT awal dari Keluarga SEHAT

sub judul : Individu Keluarga dan Masyarakat

jauhi virusnya bukan orangnya


Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]

Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS

sinergi si kaya dan si miskin

sub judul : Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan


Science…ilmu pengetahuan…siapa yang tidak mengenalnya? sebenarnya apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan? semua pengalaman yang berharga dan berguna selama hidup kita, baik yang didapat dalam kehidupan sehari-hari, dari sesama umat manusia, dari buku-buku yang ada, adalah termasuk dalam pengetahuan.

berdasarkan definisi-pengertian.blogspot.com“Batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia (munkin juga pertanyaan-pertanyaannya terus dilakukan sampai never ending)..n oleh Heidegger, setiap telaahan filosofis terdapat unsur metafisik.

1. ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988)
2. konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi (Shapere, 1974)
3. pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz, 1962)
4. ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi

Empat pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang diperoleh manusia melalui proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari ilmu terkait.

alam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.

Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional. Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia yang terjadi berulangkali. Misalnya, seseorang yang sering dipilih untuk memimpin organisasi dengan sendirinya akan mendapatkan pengetahuan tentang manajemen organisasi.

Selain pengetahuan empiris, ada pula pengetahuan yang didapatkan melalui akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang bersifat apriori; tidak menekankan pada pengalaman. Misalnya pengetahuan tentang matematika. Dalam matematika, hasil 1 + 1 = 2 bukan didapatkan melalui pengalaman atau pengamatan empiris, melainkan melalui sebuah pemikiran logis akal budi. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.

Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang rasional, sistimatik, logik dan konsisten. Hasilnya dari ilmu pengetahuan dapat dibuktikan dengan percobaan yang transparan
dan objektif. Ilmu pengetahuan mempunyai spektrum analisis amat luas, mencakup persoalan yang sifatnya supermakro, makro dan mikro. Hal ini jelas terlihat, misalnya pada ilmu-ilmu: fisika, kimia, kedokteran, pertanian, rekayasa, bioteknologi, dan sebagainya.”

lalu apakah hubungan antara ilmu pengetahuan dan kemiskinan? saya ambilkan sebuah contoh, rata-rata orang yang hidup dibawah garis kemiskinan belum dapat membaca maupun menulis. sedangkan salah satu cara memberatas kemiskinan adalah dengan ilmu pengetahuan. dengan dapat membaca dan menulis, seorang pemulung sampah bisa berkesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan menghasilkan banyak uang. dengan ilmu pengetahuan, dapat merubah seorang pengamen untuk berpikir dan memulai membuka suatu usaha/wiraswasta.

pemerintah harus bisa lebih fokus terhadap masalah pendidikan, karena jika warga Indonesia semua ber-pendidikan, maka memberantas kemiskinan akan lebih mudah. dan rakyat lebih sejahtera.

sumber :

http://www.lintasberita.com/go/862782

fenomena kehidupan perkotaan dan pedesaan

sub judul : Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan

Melihat dari berbagai aspek yang ada, baik kita lihat secara langsung ataupun melalui media informasi, baik cetak maupun media elektronik, bahwa betapa fenomena hidup yang ada dipedesaan mulai mengalami pergeseran nilai, norma serta adat istiadat yang tidak lagi dihiraukan oleh banyak penduduk desa yang ingin merasa kehidupannya berubah, baik ekonomi maupun status sosialnya.

Serta fenomena kehidupan perkotaan yang mempunyai motto hidup “Biar tekor asal Tersohor” menjadi sebuah gaya hidup serba boleh, walaupun itu melabrak norma-norma hukum lebih-lebih norma agama.

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu. Dari segi perlaksaan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat - atau tidak dibuat - oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains sosial.

Perkataan society datang daripada bahasa Latin societas, "perhubungan baik dengan orang lain". Perkataan societas diambil dari socius yang bererti "teman", maka makna masyarakat itu adalah berkait rapat dengan apa yang dikatakan sosial. Ini bermakna telah tersirat dalam kata masyarakat bahawa ahli-ahlinya mempunyai kepentingan dan matlamat yang sama. Maka, masyarakat selalu digunakan untuk menggambarkan rakyat sesebuah negara.

Walaupun setiap masyarakat itu berbeza, namun cara ia musnah adalah selalunya sama: penipuan, pencurian, keganasan, peperangan dan juga kadangkala penghapusan etnik jika perasaan perkauman itu timbul. Masyarakat yang baru akan muncul daripada sesiapa yang masih bersama, ataupun daripada sesiapa yang tinggal.

A. Definisi Masyarakat

Dalam Bahasa Inggris disebut Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk akhiran hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan

B. Masyarakat Pedesaan (masyarakat tradisional)

a. Pengertian desa/pedesaan

Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.

Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi ,sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.

Sedang menurut Paul H. Landis :Desa adalah pendudunya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut :

a) mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
c) Cara berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.

Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris, Tradition artinya Adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara, dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.

Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas.

Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh actor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut : bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indicator keberhasilan pembangunan.

Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananyapun lebih untuk pembangunan fisik.

Bahkan, di Sumenep (Madura), karena kuatnya peran kepala desa (disana disebut klebun) dalam mengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK sering dipelesetkan menjadi proyek para klebun.

Menyimak realitas diatas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia.

Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep :”Membangun desa, menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan,
tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.

b. Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik)

Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mebngenal ciri-ciri sebagai berikut :

a. Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)
d. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e. Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.

Masyarakat Perkotaan

a. Pengertian Kota

Seperti halnya desa, kota juga mempunyai pengertian yang bermacam-macam seperti pendapat beberapa ahli berikut ini.

i. Wirth
Kota adalah suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.

ii. Max Weber
Kota menurutnya, apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya dipasar lokal.

iii. Dwigth Sanderson
Kota ialah tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih.
Dari beberapa pendapat secara umum dapat dikatakan mempunyani ciri-ciri mendasar yang sama. Pengertian kota dapat dikenakan pada daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam struktur pemerintahan.

Menurut konsep Sosiologik sebagian Jakarta dapat disebut Kota, karena memang gaya hidupnya yang cenderung bersifat individualistik. Marilah sekarang kita meminjam lagi teori Talcott Parsons mengenai tipe masyarakat kota yang diantaranya mempunyai ciri-ciri :

a). Netral Afektif
Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkat Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya.
b). Orientasi Diri
Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya dikota tetangga itu bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu setiap orang dikota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka cenderung untuk individualistik.
c). Universalisme
Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk Universalisme.
d). Prestasi
Mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang itu diterima berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya.
e). Heterogenitas
Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat Heterogen, artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.

b. Ciri-ciri masyarakat Perkotaan

Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :

i. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
ii. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
iii. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
iv. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.
v. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
vi. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

D. Perbedaan antara desa dan kota

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.

Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan "berlawanan" pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:

Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan.

Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja .

Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.

Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan perbedaan yang ada mudah mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagi masyarakat pedeasaan atau masyarakat perkotaan.

Ciri ciri tersebut antara lain :

1) jumlah dan kepadatan penduduk
2) lingkungan hidup
3) mata pencaharian
4) corak kehidupan sosial
5) stratifiksi sosial
6) mobilitas sosial
7) pola interaksi sosial
8) solidaritas sosial
9) kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional

E. Hubungan Desa-kota, hubungan pedesaan-perkotaan.

Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan.

Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.

“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.

Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.

Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa caar, seperti:

(i) Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam;
(ii) Invasi kota , pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan;
(iii) Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi;
(iv) ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.

Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :

a). Urbanisasi dan Urbanisme

Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni ; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).

b) Sebab-sebab Urbanisasi

1.) Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya (Push factors)
2.) Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap dikota (pull factors)

Hal – hal yang termasuk push factor antara lain :

a. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian,
b. Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.
c. Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.
d. Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.
e. Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.

Hal – hal yang termasuk pull factor antara lain :

a. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan
b. Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
c. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.
d. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
e. Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969 : 124-125 ).

Kesimpulan

Manusia menjalani kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial, sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya : “ Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal ( bersosialisasi ).....” (Al-Hujurat :13 ).

Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini, kesenjangan Sosial, yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi moral ) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada lingkungan dimana kita tinggal.

Sehubungan dengan itu, barangkali kita berprasangka atau mengira fenomena-fenomena yang terjadi diatas hanya terjadi dikota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka adalah tempat yang aman, tenang dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi ke kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa pengaruh urbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertinggal.

Saran - saran

Pembangunan Wilayah perkotaan seharusnya berbanding lurus dengan pengembangan wilayah desa yang berpengaruh besar terhadap pembangunan kota. Masalah yang terjadi di kota tidak terlepas karena adanya problem masalah yang terjadi di desa, kurangnya sumber daya manusia yang produktif akibat urbanisasi menjadi masalah yang pokok untuk diselesaikan dan paradigma yang sempit bahwa dengan mengadu nasib dikota maka kehidupan menjadi bahagia dan sejahtera menjadi masalah serius. Problem itu tidak akan menjadi masalah serius apabila pemerintah lebih fokus terhadap perkembangan dan pembangunan desa tertinggal dengan membuka lapangan pekerjaan dipedesaan sekaligus mengalirnya investasi dari kota dan juga menerapkan desentralisasi otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk mengembangkan potensinya menjadi lebih baik, sehingga kota dan desa saling mendukung dalam segala aspek kehidupan.

Referensi

Ahmadi, Abu, Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta.
Kosim, H, E. 1996. Bandung: Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari
Marwanto, 12 November 2006. Jangan bunuh desa kami. Jakarta:Kompas
_______, 1994. Sosiologi 3 SMU. Jakarta: Yudistira


sumber :
http://www.gudangmateri.com/2010/04/masyarakat-desa-dan-masyarakat-kota.html

Aspek Sosial Budaya Masyarakat Aceh

sub JUDUL : Pelapisan Sosial dan Kosmopolitan

Oleh: Agus Budi Wibowo dan Rusdi Sufi

Aceh sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Daruusalam ini terdapat 8 subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subetnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yangg sangat berbeda antar satu dengan yang lain. Misalnya, menurut sejarahnya, subetnis Aneuk Jamee merupakan pendatang yang berasal dari Sumatra Barat (etnis Minangkabu) sehingga budaya subetnis Aneuk Jamee mempunyai kemiripan dengan budaya etnis Minangkabau.

A. Mitos/Sejarah Keberadaan Masyarakat Aceh
Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah, yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) sebagai inti Kerajaan Aceh (Aceh proper). Karena daerah inilah pada mulanya yang menjadi inti kerajaan dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang Belanda menamakanya (Onderhorigheden). Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh, untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh dan sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.

Selain sebagai nama daerah Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Mengenai kapan Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan belum ada suatu kepastian konkrit asal muasalnya. Data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tidak diketemukan. Informasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah populer yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi ke Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh; orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh. Namun sumber-sumber ini ada yang bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.

K. F. H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul “De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat” (Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum yang tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul “Iets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh” (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asal¬-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh. Meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatip bahasa Batak dan Gayo.

Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Menurut bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya. Mengenai perbandingan atau persamaan antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa telah diterbitkan oleh H.K.J. Cowan dengan judul “Aanteekeningen betreffende de verhoding van het Atjesche tot de Mon Khmer talen” dalam BKI 104 (1948).

Seorang ulama Aceh terkenal Aceh pada XIX yaitu Teungku Kutakarang yang populer dengan sebutan Teungku Chik Kutakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya percampuran dengan suku-suku bangsa lain, seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias. orang¬-orang lndia, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis.

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal¬-usulnya etnis Aceh dibagi empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat kawom atau sukee ini yaitu
1. Kawom atau sukee lhee reutoh (kawum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
2. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
3. Kawom atau sukee tok Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka berasal dari berbagai etnis, pendatang dari berbagai tempat.
4. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.

Pada awalnya akibat asal usul yang berbeda, keempat kawom ini sering kali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawon ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama kawomnya cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawon-kawom itu.

Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu entitas politik dan budaya mulai terbentuk semanjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang selanjutnya dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal. Karena eksodusnya para pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dan juga berubalmya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dengan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.

B. Karakteristik Kepribadian
Karena posisi geografisnya yang menguntungkan menyebabkan Aceh sarat dengan kontak dan pengaruh dari luar. Salah satu di antaranya ialah agama Islam. Berdasarkan beberapa sumber disimpulkan para sejarawan dan arkeolog bahwa agama Islam pertama masuk ke Nusantara ialah daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa Islam yang masuk ini yaitu Islam yang terlebih dahulu tersebar dan teradaptasi dengan unsur-unsur di daerah Persia dan Gujerat (India). Masuk dan kemudian berkembangnya agama Islam di Aceh telah menjadikan etnis Aceh secara keseluruhan penganut agama Islam. Namun karena Islam yang masuk ini, Islam yang telah berbaur dengan unsur¬-unsur budaya dari mereka yang memasukkan (budaya Persia dan India) telah memberikan corak tersendiri terhadap budaya dan adat istiadat serta agama Islam di Aceh.

Pada masyarakat Aceh antara agama dan budaya telah menyatu sehingga sukar untuk dipisahkan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang sangat populer, yaitu adat ngon hukom hanjeuet cree lagee zat ngon sifeut, artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya. Maksudnya hukum agama Islam yang berlaku itu telah menyatu dengan adat laksana zat dengan sifat Allah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain dapat disebut bahwa kedua hal itu berjalan sejajar dan jika di antaranya ada yang tidak cocok, dalam arti jika adat bertentangan dengan unsur-¬unsur agama lslam, maka keadaan itu dianggap timpang dan salah.

Di kalangan etnis Aceh terdapat sebuah pedoman hidup yaitu adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala, yang maksudnya adat yakni kebiasaan-kebiasaan, tata cara atau peraturan-peraturan yang telah dibiasakan secara turun-temurun ditetapkan oleh raja atau penguasa (umara) dan hukum-hukum agama Islam difatwakan oleh para ulama. Sehubungan dengan hal tersebut dapat disebutkan bahwa adat pergaulan dan tata cara hidup etnis Aceh telah terjalin rapat dengan nafas Islam yang tidak terpisahkan itu. Ajaran-ajaran agama Islam yang dihayati oleh penduduk (orang Aceh) sejak dahulu masih membekas sampai sekarang. Salah satu warisan pengaruh agama yaitu tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab. Meskipun etnis Aceh mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Aceh (termasuk rumpun bahasa Austronesia), tetapi tidak memiliki sistem huruf khas bahasa Aceh asli. Berbagai karya (kitab) yang dikarang oleh para ulama (pada masa kerajaan) ditulis dengan huruf Arab. Ada yang dalam bahasa Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe dan juga bahasa Aceh serta Arab. Dapat dikatakan semua generasi tua mengenal huruf Arab (bahasa Jawi) ini didapatkannya melalui pendidikan agama. Selanjutnya di sini diketengahkan beberapa segi adat istiadat dan pandangan hidup etnis Aceh Menurut Rusdi Sufi ada beberapa karakteristik yang khas dari masyarakat Aceh yaitu,

Memberi Salam
Suatu cara khas etnis Aceh yang juga ada pada suku bangsa Indonesia lain ialah dalam hal bertamu ke tempat seseorang yang belum dikenalnya. Sebelum ia masuk ke rumah yang punya terlebih dahulu ia menyapa penghuninya dengan menggunakan kata assalamu ‘alaikum (bukan dengan sesuatu sebutan yang lain dari itu) yang artinya seperti sama-sama kita maklumi, moga-moga anda (sekalian) sejahtera. Ini adalah suatu sikap hidup yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnva.

Karena Islam itu damai, maka setiap pemeluknya disuruh supaya ia hidup berdamai dengan sesamanya. Menjawab salam ini wajib hukumnya. Jika ucapan salam itu tidak dijawab karena ketiadaan penghuni umpamanya, maka tamu tadi tidak akan masuk ke dalam rumah yang didatanginya itu, ia segera beranjak dari tempat ini untuk menghindarkan fitnah. Ini sesuai dengan maksud A1 Qur’an surat An-Nur ayat 27 dan 61.

Tangan Kiri atau Kaki
Seorang Aceh tidak akan menyerahkan, menerima sesuatu atau menghimbau seseorang dengan tangan kirinya, baik secara berkelakar apalagi secara bersungguh-sungguhan. Dalam hal ini tangan kiri dianggap paling tidak sopan karena kegunaannya hanyalah untuk membersihkan bahagian tubuh setelah melakukan hajat besar. Pengertian kiri dan kanan dalam pandangan orang Aceh sudah jelas, analog dengan yang tercantum dalam A1 Qur’an surat Al-Haqqah ayat 19 dan 25 atau surat Al Waqiah ayat 8, 9, 41 dan 90 atau surat A1 Insyiqaq ayat 7. Begitu juga halnya bercanda dengan menggunakan kaki, baik kiri ataupun kanan sesuatu yang paling pantang.

Memegang Kepala
Kepala merupakan bahagian tubuh yang ditakdirkan ‘Tuhan berada di atas sekali. Di situ dipusatkan indera-indera terpenting seperti otak, mata, telinga, mulut dan lidah, yang kemudian baru berhubungan dengan organ-organ tubuh yang lain ke bawah. Dalam pandangan orang Aceh memegang atau mengambil penutup kepala yang sedang dipakai seseorang, baik secara berkelakar apalagi secara sengaja merupakan hal yang sangat dilarang.

Yang Dituakan
Dalam pergaulan hidup orang Aceh, seseorang yang lebih tua usianya dipandang terhormat. Dengan tua di sini dimaksudkan seseorang yang telah lama hidup dan telah berpengalaman serta dengan sendirinya lebih bijaksana dalam tindak-tanduknya dibandingkan dengan seseorang yang masih berusia muda. Dalam hal ini tidak berarti bahwa seperti halnya sekarang pemuda yang telah bergelar sarjana dipandang tidak terhormat.

Jiran
Jiran atau tetangga merupakan kelompok orang yang paling rapat hubungannya dengan orang Aceh. Kendatipun orang itu mempunyai saudara kandung atau famili yang bagaimanapun besar martabatnya, tetapi jauh daripadanya, namun .jiran atau tetangga yang walaupun tidak seagama dan sesuku dengannya merupakan kelompok orang yang sangat berarti baginya. Oleh karena itu, seorang Aceh tidak akan merasakan asing jika ia berdiam dekat dengan seseorang yang berlainan suku bangsa atau agama yang dianutnya. Dia dapat merasakan hubungan kekeluargaan vang mesra dengan jirannya dalam batas pandangan-pandangan hidupnya.

Damai
Karena cara hidup orang Aceh terjalin dengan unsur-unsur agama Islam seperti telah disinggung di atas, maka sesuai dengan maksud dan tujuan Islam sendiri, pada prinsipnya setiap orang Aceh itu berperasaan damai di hatinya terhadap siapapm sejauh ia tidak dipandang remeh atau dihina oleh sesuatu golongan lain. Makna salam yang diucapkan pada setiap waktu bertemu dan berpisah dimana pun tempatnya itu sebenarnya merupakan ajaran bagi seorang Aceh untuk hidup damai dengan segala makhluk Allah di muka bumi ini.

Dalam pandangan orang Aceh, taloe atau kalah merupakan hal yang sangat negatif. Jika ia merasa taloe atau tersisih dari suatu pergaulan masyarakat, maka ia akan keluar dari kampungya dan pergi berdiam di tempat lain dimana orang belum mengenal dirinya dengan maksud agar ia dapat hidup secara terhormat kembali. Oleh karena itu, prinsip hidup berdamai itu sangat penting bagi seorang Aceh, suatu sikap yang dipertahankan secara sungguh-sungguh. Ihi pula maka setiap sengketa di kampung Aceh selalu dibawa kepada titik perdamaian yang dilakukan oleh kepala kampung bersama anggota-anggota pemerintah kampung itu. Pengertian taloe atau kalah yang disebut di atas bukanlah istilah yang biasa dipergunakan dalam permainan seperti permainan bola.
Sehubungan dengan prinsip hidup damai itu dalam penghidupan orang Aceh dikenal pula sebuah ucapan vang berbunyi sihet bek rho bah habeh maksudnya miring jangan tumpah biarlah, artinya daripada miring-miring atau tanggung-¬tanggung, biarlah tumpah atau sungguh-sungguh sekali asal tidak sampai malu. Prinsip hidup ini berarti bahwa orang Aceh hanya mengenal sahabat yang setiap saja, sahabat yang benar-benar seperasaan dan sependeritaan dengannya dan untuk sahabat yang sedemikian ia rela mengorbankan apa saja, jika perlu nyawapun akan rela dikorbankan.

Dendam
Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas setiap kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur’an surat A1 Baqarah ayat 178 atau surat A1 Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah dan ma di sebuah kampung sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali di dalam pergaulan masyarakat di kampung itu.

Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang itu tidak memahami prinsip hidupnya sebagai seorang Aceh.

Pergaulan
Dari beberapa hal yang telah dicoba dijelaskan untuk dikemukakan tadi jelas bahwa bagi setiap orang Aceh tidak merupakan masalah untuk berasimilasi dengan setiap orang di luar sukunya. baik di dalam maupun di luar daerahnya sendiri. Sikap hidup ini sebenarnya sudah ada dalam darah setiap orang Aceh jika diingat bahwa orang Aceh merupakan percampuran darah dengan bangsa lain seperti telah diutarakan di atas.

Kekeluargaan
Pada masa dahulu dimana setiap kaum itu mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka keluarga itu mempunyai arti yang penting sekali. Peperangan di antara satu daerah dengan daerah lain telah membuat setiap keluarga itu amat menonjol dan bertanggung jawab satu dengan yang lain, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa menurut asal-usulnya bangsa Aceh itu terdiri atas 4 kaum atau suku.

C. Struktur Masyarakat
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pinpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unti pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.

Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem. Dengan demikian tebntunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebut yaitu :
1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tangkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek

Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, juga dalam masyarakat Aceh terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh.

Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu maka ada golongan hartawan/orang kaya dan rakyat biasa (Ureung leue). Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula kedalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.

D. Bahasa
Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang dan Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda ‘eu’ kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).

Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vokal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti “turun ” menjadi” tron”, karena hilangnya suku pertama, seperti “daun” menjadi “beuec”. Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa indonesia bagian timur.
Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya mengunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar baik dalam keluarga atau dalam kehidupan sosial. Namun demikian masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.

Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab – Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe. Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh, banyak orang tua orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi ini.

E. Permainan Tradisional
1. Geulayang Tunang
Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan Tunang yang berarti pertandingan. Jadi geulayang tunang adalah pertandingan layang-layang atau adu layang yang diselenggarakan pada waktu tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.
Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.

2. Geudeue-Geudeue
Geudeue-geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat. Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan permainan adu kekuatan.
Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena. Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan pihak yang pertama.
Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.

3. Peupok Leumo
Peupok leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung atau lebih luas lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. Untuk menentukan hari-hari penyelenggaraan setiap hari minggu, Jumat atau hari-hari lainnya. Dapat juga diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00-18.00.

Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai pemenang. Acara peupok leumo tunang ini biasanya diselenggarakan oleh sebuah panitia. Waktunya tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu seperti sehabis panen atau waktu-waktu lain seperti pada hari-hari besar dan sebagainya.

4. Pacu Kude
Pacu kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda adalah alat angkutan yang sangat praktis di daerah pegunungan, di samping dipergunakan untuk membajak sawah.

Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan pacu kude.

Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Akhirnya, pada bulan Agustus 1930 pertandingan pacu kude resmi diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Ratu Belanda, Welhilmina. Saat ini, pacu kude diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI. Adapun aturan-aturan dalam permainan ini di antaranya joki adalah orang laki-laki berumur 12-20 tahun dan beratnya dibatasi maksimum 40 kg.

5. Peh Kayee
Meuen Peh Kayee disebut juga meuen gok atau meuen sungkeet. Para pemain adalah anak-anak yang sudah bisa berhitung, karena untuk mengakhiri permainan dengan hitungan. Perlengkapan yang dibutuhkan sebuah gagang sepanjang lebih kurang 60 cm yang dipergunakan sebagai alat untuk memukul dan sebuah anak kayu sepanjang lebih kurang 10 sampai 15 cm untuk dipukul oleh pemain, juga dibutuhkan lapanga yang luas. Gagang dan anak kayu biasanya dari pelepah rumbia yang telah dipotong-potong dan dibulatkan dengan maksud tidak mencederai bagi pemainkarena ringan.

Dalam permainan peh kayee ada beberapa istilah, yaitu boh sungkeet, boh peh, dan boh jeungki. Boh Sungkeet adalah bola pertama dalam memulai permainan dengan menyungkit anak yang telah diletakkan diatas lobang yang telah disediakan dengan gagang sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Peh adalah bola kedua di mana anak diumpamakan sebagai bola sesudah dilambung ke atas kemudian dipukul sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Jeungki adalah bola ketiga dimana anak diletakkan secara membujur yang sebagian berada di dalam lubang dan kemudian dipukul bagian atas sampai naik, setelah naik diusahakan untuk dipukul secara lemah beberapa kali, seandainya tidak dapat dipukul secara lemah barulah dipukul yang kuat ke arah lawan.

F. Kesenian
1. Saman
Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.

2. Tari Likok Pulo Aceh
Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Aceh atau sering juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan berjalam semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu. Seorang pemain utama yang disebut syeh berada di tengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman/keserentakan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.

3. Laweut
Laweut berasal dari kata Salawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama sekali disebut Akoon (seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II/PKA II). Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

4. Tari Pho
Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat/hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

5. Seudati
Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang anak syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo dari lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

G. Senjata
Selain meriam dan senjata api, ketika rakyat Aceh melawan Belanda juga mempergunakan senjata-senjata tradisional. Berdasarkan penggunaannya senjata-senjata stradisional yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga). Pertama senjata yang berfungsi untuk menyerang, kedua senjata untuk membela diri dan ketiga senjata yang bergerak sendiri. Adapun senjata-senjata untuk menyerang antara lain :

1. Reuncong (Rencong)
Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh, yaitu pertama reuncong Meucugek. Disebut rencong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh. Kedua, Reuncong Meupucok memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil pada gagang atau pegangan pada bagian bawahnya. Namun semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masalah adat dan kesenian. Ukiran yang terdapat pada gagang rencong bermacam-macam bentuknya, ada yang menyerupai bungan mawar, kembang daun dan lainnya tergantung kepada selera pemakai. Ketiga, Reuncong Pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekurangan, atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudoi atau yang belum sempurna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut. Keempat, Reuncong Meukuree. Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga dan lainnya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama maka pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong makin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong yang bersangkutan. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis.

2. Siwaih
Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari pada rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya yang mahal, juga merupakan bahagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang.

3. Peudeung (Pedang)
Pedang digunakan sebagai senjata untuk menyerang. Jika rencong digunakan untuk menikam, maka pedang digunakan beriringan dengan itu, yaitu sebagai senjata untuk mentetak atau mencincang. Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu peudeung Habsyah (dari negara Abbesinia), Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat), Peudeung Turki berasal dari raja-raja Turki.

Berdasarkan bilah atau bentuk mata pedang, masyarakat mengenal nama-nama pedang sebagai berikut peudeung on teubee sejenis pedang yang bilah atau matanya menyerupai daun tebu. Pedang ini dibuat sedemikian rupa, panjangnya kira-kira 100 Cm (sudah termasuk gagangnya). Umumnya terbuat dari besi, bentunya lebih halus dan lebih kecil dari peudeung on jok. Peudeung on jok sesuai dengan namanya menyerupai daun enau atau daun nira. Bentuknya lebih kasar dan tebal dari peudeung on teubee dan sedikit agak pendek dari peudeung on teubee.

Berdasarkan bentuk gagangnya, jenis pedang adalah sebagai berikut pertama, Peudeung Tumpang Jingki, gagangnya seperti mulut yang sedang terbuka dan seakan-akan dapat menahan sandaran benda lain di atasnya. Gagang pedang ini berasal dari tanduk dan matanya dari besi. Panjang keseluruhannya mencapai 70 Cm. Bentuknya hampir serupa dengan peudeung tumpang beunteung yang lazim disebut oleh masyarakat Pidie. Kedua, Peudeung Ulee Meu-apet, pada gagangnya terdapat apet atau penahan untuk tidak mudah terlepas. Jenis pedang ini selalu ditempatkan di dalam sarungnya. Bahkan amat jarang dikeluarkan. Pedang ini dianggap mempunyai kekuatan magis, pantang dikeluarkan disembarangan tempat dan waktu. Ketiga, Peudeung Ulee Tapak Guda, gagangnya menyerupai telapak kaki kuda. Gagangnya dibuat dari tanduk, dan bilahnya dari besi. Panjangnya mencapai 72 Cm. Di samping jenis pedang yang telah disebut di atas, didapati nama-nama lainnya seperti Peudeung ulee iku mie karena gagangnya menyerupai ekor kucing, peudeung ulee iku itek, karena gagangnya menyerupai ekor bebek, Peudeung ulee babah buya karena gagangnya seperti mulut buaya, peudeung lapan sago gagangnya bersegi delapan. Ada satu pedang yang sering diceritakan dan disebut-sebut orangtua di Aceh yaitu peudeung Zulfaka yang mengandung kekuatan magis tinggi karena berasal dari Saidina Ali Radhiallahu’anhu.

H. Adat-Istiadat
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.

Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.

Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).

Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.

Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.

2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.

I. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.


sumber :

http://plik-u.com/?tag=sosial

Menelusuri Tradisi, Budaya dan Seni Islam Masa Lalu

sub Judul : AGAMA DAN MASYARAKAT

Agama dan Masyarakat;Suatu Tinjauan Fungsi Agama Terhadap Masyarakat


Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut kepercayaan kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu segera lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis. 1

Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah ada dan yang masih dimainkan.2 Emile Durkheim sebagai sosiolog besar telah memberikan gambaran tentang fungsi agama dalam masyarakat. Dia berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.3

Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.4

Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni:

  1. Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.

  2. Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.

  3. Lembaga-lembaga integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).

“… Those dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes institutions which deal with ideas, and with the transmission of received values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and educational organizations within this category”.

  1. Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda.

Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”).5

Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi. 6

Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni terhadap kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai “dua muka” (janus face). Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. 7 Atau dengan kata lain mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.

Pemeluk agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati.8 Sehingga dalam usahanya untuk membentuk kehidupan yang damai, banyak dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang universal religion yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur transcendental suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.

Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.9

Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi sosial.10

1 Thomas F.o’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Jakarta, CV. Rajawali Press, 1985.

2 Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu pengantar Sosiologi agama, Jakarta, CV. Rajawali Press, 1985.

3 Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, Jogyakarta, Tiara Wacana, 1995.

4 O’dea, op.cit..

5 Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta, CV. Rajawali Press, Cet.2, 1984.

6 Bahtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, Jogjakarta, Galang Press, 2001.

7 Ibid.

8 Abdul Munir Mulkan, Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.

9 Ibid.,

10 Ibid.


sumber :

http://islamkuno.com/2007/12/17/agama-dan-masyarakatsuatu-tinjauan-fungsi-agama-terhadap-masyarakat/


 
Nitia_Saiko © 2007 Template feito por Áurea R.C.